Usulan kepala daerah dipilih melalui DPRD kembali mencuat belakangan ini. Beberapa partai politik di Senayan menyatakan mendukung gagasan tersebut, termasuk Golkar, PAN, Gerindra, dan PKB.
Rencana ini akan mengubah mekanisme pilkada yang selama ini digelar secara langsung oleh rakyat. Para anggota DPRD akan memiliki kewenangan untuk menentukan calon bupati atau wali kota.
Salah satu ide yang layak diperhatikan adalah memilih calon kepala daerah dari sesama anggota DPRD. Lima orang akan dipilih untuk bergilir menjabat bupati atau wali kota setiap tahun.
Dengan sistem ini, satu kepala daerah akan dibantu oleh empat wakil yang juga merupakan anggota DPRD. Pergantian tahunan diharapkan membuat pemerintahan lebih dinamis dan kolektif.
Saat menjabat sebagai bupati, yang bersangkutan akan menerima gaji setara pejabat saat ini, sedangkan empat wakilnya akan tetap menerima gaji seperti anggota DPRD biasa.
Pola ini memungkinkan lebih murah dan lebih banyak orang merasakan pengalaman memimpin daerah, meski durasinya terbatas hanya satu tahun. Konsep kolektif ini juga dapat menumbuhkan budaya kerja sama di tubuh DPRD.
Diharapkan dengan sistem bergilir bisa meningkatkan akuntabilitas. Karena pergantian tahunan, setiap anggota DPRD yang menjabat harus menunjukkan kinerja konkret dalam waktu singkat.
Selain itu, metode ini diyakini bisa mengurangi dominasi satu tokoh politik dalam jangka panjang. Setiap anggota DPRD berkesempatan memimpin dan memahami tantangan pemerintahan daerah.
Dampak lainnya adalah terbukanya peluang bagi anggota DPRD yang baru atau lebih muda untuk merasakan tanggung jawab eksekutif. Ini bisa menjadi pelatihan politik praktis yang efektif. Hal ini bisa tercapai jika sesama anggota DPRD memilih dari yang paling tua sampai yang paling muda. Bisa juga dikombinasi calon perempuan dan pria.
Sistem ini juga bisa memicu inovasi birokrasi. Karena setiap kepala daerah hanya menjabat satu tahun, mereka akan terdorong menerapkan program yang jelas dan cepat terukur.
Untuk tingkat provinsi, sebagian pihak menyarankan tetap menggunakan pemilihan langsung. Jumlah gubernur relatif sedikit sehingga pelaksanaan bersamaan dengan pilpres masih memungkinkan.
Namun, konsep bergilir di DPRD kabupaten/kota dapat menjadi pilot project bagi reformasi birokrasi di tingkat lokal. Evaluasi dari sistem ini dapat menjadi referensi bagi wilayah lain.
Usulan ini bisa diakomodir melalui revisi UU Pilkada. DPR saat ini memang sedang menyiapkan revisi dan memasukkannya ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
Proses pembahasan RUU Pilkada akan dilakukan bersamaan dengan RUU Pemilu dan RUU Partai Politik. Metode kodifikasi akan digunakan untuk menghimpun berbagai peraturan menjadi satu undang-undang terpadu.
Meski begitu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menegaskan RUU Pilkada ini belum akan dibahas dalam waktu dekat, termasuk pada awal masa sidang Januari 2026.
Sistem ini, jika diterapkan, diyakini dapat meningkatkan partisipasi anggota DPRD dalam pengambilan keputusan politik di tingkat lokal.
Selain itu, rotasi tahunan kepala daerah bisa memperkecil risiko stagnasi kebijakan dan praktik politik yang cenderung menguntungkan satu kelompok tertentu.
Sistem ini juga membuka ruang bagi konsolidasi partai politik di tingkat daerah, karena calon yang diajukan berasal dari anggota DPRD sendiri.
Bagi masyarakat, mekanisme ini bisa dipandang sebagai cara menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan responsif, meski durasinya terbatas.
Dengan begitu, sistem kepala daerah bergilir melalui DPRD memiliki potensi besar untuk menjadi model reformasi politik lokal yang lebih inklusif dan berkeadilan.












Tidak ada komentar:
Posting Komentar