Pada masa Nabi Muhammad SAW, sekitar abad ke-6 hingga awal abad ke-7 Masehi, berbagai kerajaan besar sudah berdiri di Asia. Di India bagian utara, wilayah tersebut dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha seperti Mauyran pasca-kemunduran, serta kerajaan Gupta dan penerusnya di Deccan yang berfokus pada perdagangan dan kebudayaan. Di wilayah Tiongkok, Dinasti Sui sedang mempersiapkan fondasi bagi pemerintahan yang lebih terpusat sebelum digantikan oleh Dinasti Tang pada 618 M, yang dikenal karena kekuatan politik dan ekspansi budaya. Sedangkan di Nusantara, kerajaan-kerajaan awal seperti Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan kecil di Jawa dan Kalimantan mulai berkembang sebagai pusat perdagangan maritim yang berpengaruh. Sebelum Nabi SAW wafat, sudah ada komunitas Arab Muslim di beberapa pesisir nusantara termasuk Barus yang menjadi Titik Nol Islam di Nusantara.
Ketika masa Khulafaur Rasyidin (632–661 M), penyebaran Islam mulai terjadi dengan cepat di Jazirah Arab dan sekitarnya, namun kontak langsung dengan India, Tiongkok, dan Nusantara terus berlanjut. Di India, beberapa wilayah utara berada di bawah kerajaan Hindu dan Buddha, termasuk Kerajaan Pala di Bengal dan kerajaan kecil di Deccan. Di Tiongkok, Dinasti Tang menguatkan pusatnya, memajukan perdagangan melalui Jalur Sutra dan pelabuhan pesisir selatan, sementara Nusantara tetap berada di bawah Sriwijaya dan rilvalnya di Jawa sebagai penguasa utama jalur maritim.
Pada era Dinasti Umayyah (661–750 M), wilayah Islam mulai berkembang ke Afrika Utara dan Semenanjung Iberia, namun kontak dengan Asia Timur masih bersifat perdagangan. India utara masih didominasi oleh kerajaan Hindu dan Buddha, sementara pedagang Muslim dari Arab mulai menjalin hubungan dengan pesisir barat India. Di Nusantara, Sriwijaya tetap menjadi pusat maritim yang kuat dan menjadi simpul perdagangan antara Asia Selatan, Timur Tengah, dan Cina. Kontak ini membuka jalur awal bagi penyebaran Islam ke Nusantara. Raja Sriwijaya berkirim surat ke Arab dan Ratu Shima dari Kalingga Jawa mulai menjadi diplomatik sebagaimana ditulis oleh Buya Hamka.
Dinasti Abbasiyah (750–1258 M) memperluas jaringan Islam lebih jauh ke Asia Tengah dan India barat. Pedagang dan ulama dari wilayah Abbasiyah berperan besar dalam menyebarkan Islam melalui perdagangan dan dakwah. Di India, muncul kerajaan-kerajaan Muslim awal seperti Ghaznavid dan Ghurid, yang membuka jalan bagi Kesultanan Delhi. Di Tiongkok, Dinasti Tang digantikan oleh Dinasti Song pada 960 M, yang memperkuat ekonomi, perdagangan laut, dan teknologi. Nusantara tetap di bawah pengaruh Sriwijaya dan kerajaan lainnya di Jawa dan Sumatera. Di Aceh kerajaan Islam di Perlak, Jeumpa dll mulai menguat dan akhirnya menjadi cikal bakal Samudera Pasai.
Fatimiyah di Mesir (909–1171 M) berperan sebagai pusat intelektual dan perdagangan di Laut Merah. Mereka mempengaruhi jalur perdagangan antara Jazirah Arab, India, dan Afrika Timur. India pada masa ini mulai melihat masuknya pedagang Arab dan Persia yang membawa Islam dan modal dagang. Di Nusantara, jalur perdagangan Sriwijaya masih dominan, tetapi muncul juga pengaruh kerajaan Islam kecil di pesisir Sumatera, yang mulai menerima pengaruh Fatimiyah dan Abbasiyah melalui jalur dagang maritim. Di perairan Cirebon pernah ditemukan harta karun dari bangkai kapal yang tenggelam era Fatimiyah.
Era Ayyubiyah (1171–1260 M) di Mesir, yang didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi, terkenal karena perang salib dan stabilitas politik di Timur Tengah. Pengaruh Ayyubiyah di Asia Selatan dan Nusantara lebih intens bersaing dengan Dinasti Fatimiyah. Pedagang Muslim dari wilayah ini tetap aktif di jalur maritim India dan kepulauan Melayu. Di India, Kesultanan Delhi mulai terbentuk oleh penguasa-penguasa Muslim dari dinasti Ghurid. Nusantara mulai menerima pengaruh Islam melalui perdagangan dan misi ulama dari India dan Arab.
Dinasti Mamluk di Mesir (1250–1517 M) menegakkan kekuatan politik dan militer yang kuat di wilayah Timur Tengah. Mereka berperan penting dalam melindungi jalur perdagangan laut dan darat, termasuk jalur ke India dan Asia Tenggara. Pedagang Mamluk bekerja sama dengan komunitas Muslim di India dan Nusantara, memperkuat penyebaran Islam. Di India, Kesultanan Delhi terus berkembang, sementara Nusantara mulai mencatat pembentukan kerajaan Islam awal di Aceh, Samudra Pasai, dan pesisir utara Sumatera.
Era Ottoman (1299–1924 M) memperluas pengaruh politik dan ekonomi Islam ke wilayah yang sangat luas, termasuk Afrika Utara, Timur Tengah, dan sebagian Asia. Jalur perdagangan laut dan diplomasi Ottoman turut mempengaruhi India barat dan Nusantara. Pedagang Ottoman dan Arab tetap menjalin hubungan dengan kerajaan Islam di Nusantara, memperkuat komunitas Muslim lokal dan mendukung pembangunan masjid serta institusi keagamaan.
Dalam perjalanan sejarah ini, Nusantara menjadi bagian penting dari jaringan Islam global. Kontak dengan pedagang, ulama, dan diplomat dari India, Persia, Arab, dan Mesir membentuk fondasi Islam lokal. Kerajaan Hindu-Buddha tetap ada, tetapi pengaruh Islam mulai masuk melalui perdagangan dan dakwah pada abad ke-13 hingga ke-15.
Hubungan ini menegaskan bahwa Nusantara tidak berada dalam isolasi, melainkan merupakan bagian dari jaringan maritim yang menghubungkan dunia Islam di India, Arab, Persia, dan Afrika Utara. Keberadaan kerajaan maritim seperti Sriwijaya memungkinkan interaksi yang berkelanjutan dan penyebaran agama, budaya, dan teknologi.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, wilayah India utara masih dikuasai kerajaan Hindu-Buddha, sementara Nusantara mulai menguatkan jalur perdagangan laut. Kontak dengan pedagang Muslim dari Arab dan Persia menjadi awal mula pengenalan Islam di kepulauan Melayu dan Sumatera.
Di masa Khulafaur Rasyidin, penyebaran Islam terbatas di luar Jazirah Arab, tetapi pedagang dan misi dakwah mulai menghubungkan India, Tiongkok, dan Nusantara. Hal ini menciptakan jaringan awal yang memperkuat hubungan ekonomi dan sosial antara wilayah tersebut dengan pusat Islam.
Dinasti Umayyah memperluas pengaruh Islam ke Afrika Utara dan Spanyol, sementara di Asia hubungan dengan India dan Nusantara tetap bersifat perdagangan. Pedagang Muslim Arab membawa modal, ilmu agama, dan budaya, memperkenalkan Islam kepada kerajaan maritim di Nusantara.
Abbasiyah kemudian memfasilitasi penyebaran Islam yang lebih sistematis melalui jaringan pedagang dan ulama. Di India muncul kerajaan Muslim awal, dan Nusantara mulai menerima pengaruh budaya dan hukum Islam melalui jalur perdagangan.
Fatimiyah memperkuat jalur perdagangan Laut Merah dan menghubungkan India, Arab, dan Nusantara. Pedagang dari Fatimiyah memainkan peran penting dalam pembangunan masjid dan lembaga pendidikan di Nusantara.
Era Ayyubiyah menandai stabilitas politik di Mesir, sementara pedagang dan misi dakwah tetap menjalin hubungan dengan Nusantara. Pengaruh ini membantu terbentuknya kerajaan Islam awal di pesisir Sumatera dan Aceh.
Mamluk melindungi jalur perdagangan dan memperkuat jaringan Muslim di India dan Nusantara. Pedagang Mamluk menjadi agen penyebaran Islam dan budaya administrasi ke kerajaan-kerajaan lokal.
Ottoman membawa pengaruh politik dan ekonomi yang luas, termasuk dukungan bagi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Jalur perdagangan dan diplomasi memfasilitasi penguatan komunitas Muslim lokal dan pembangunan infrastruktur keagamaan.
Secara keseluruhan, perjalanan sejarah ini menunjukkan bahwa Nusantara selalu terhubung dengan pusat-pusat Islam global. India, Persia, Arab, Mesir, dan Ottoman berkontribusi pada penyebaran Islam, budaya, dan perdagangan di kepulauan Melayu.
Meskipun kerajaan Hindu-Buddha tetap eksis, pengaruh Islam semakin kuat melalui perdagangan, dakwah, dan diplomasi. Hal ini menjadi fondasi bagi munculnya kerajaan Islam di Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-15.
Jalur maritim Nusantara menjadi kunci integrasi ekonomi dan budaya dengan dunia Islam. Pedagang, ulama, dan diplomat membentuk jaringan sosial yang menjaga kesinambungan pengaruh Islam di kepulauan Melayu.
Kontak dengan India, Arab, dan Persia memastikan bahwa Nusantara menjadi bagian dari sejarah Islam global. Hubungan ini membentuk pola perdagangan, dakwah, dan pertukaran budaya yang berkelanjutan hingga era Ottoman.
Kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara belajar dari administrasi, hukum, dan budaya Islam yang diperkenalkan oleh pedagang dan ulama. Hal ini menjadi dasar pembentukan kesultanan Islam yang lebih mapan di pesisir Sumatera, Jawa, dan Maluku.
Dengan demikian, sejarah Nusantara sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga era Ottoman menunjukkan perjalanan panjang interaksi dengan pusat Islam dunia. Hubungan ini membentuk fondasi budaya, politik, dan agama yang bertahan hingga zaman modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar